Beras, Akik dan Kasih

Suatu malam, seorang kawan menghubungi saya mengajak mengobrol di sebuah warung pinggir jalan. Singkat cerita, kami pun bertemu dan membahas topik tentang batu akik yang saat itu di sedang trend.

Sambil menikmati kopi hitam panas, sementara udara dingin musim kemarau menari-nari menggerayangi kulit, pembicaraan itu kemudian sampai pada cerita, alasan mengapa kawan saya hobi mengoleksi batu akik. Kata dia, semua berawal dari saat dia masih anak-anak.

Ayahnya adalah seorang pedagang beras yang berjualan di kios sederhana. Sebagai orang Betawi, ayahnya memang memiliki kebiasaan mengenakan cincin batu akik.

Pada suatu hari, ada seseorang yang datang ke kios ayahnya dan mengaku tak memiliki uang. Orang tersebut sangat membutuhkan beras dan hanya memiliki sebongkah kecil batu. Dia pun berkata jujur, jika berkenan batu itu ditukar berberapa kilogram beras.

Tanpa banyak pikir, ayahnya kemudian memberi beras dan bahkan berusaha menolak pemberian bongkahan batu tadi. Namun orang tersebut memaksa agar batu itu disimpan. Hal yang sama berulang kali terjadi. Bahkan, ayahnya sampai diomeli istrinya lantaran dagangan mereka merugi. Penyebabnya tak lain akibat barter beras dan batu yang saat itu tak ada harganya.

Dari kejadian berulang itu, ayah kawan saya ini memiliki koleksi bongkahan batu akik ukup banyak, Batu-batu tadi kemudian disimpan pada sebuah kotak khsus. Beberapa waktu berselang, ayah kawan saya kemudian meninggal dan koleksi batu tadi hampir dibuang. Namun ibunya kemudian memilih menyimpan batu-batu itu dengan maksud untuk mengenang mendiang suaminya.

Belasan tahun berlalu, sampai tiba waktunya dimana batu akik menjadi sebuah trend dan batu tertentu mempunyai harga yang cukup mahal. Karena penasaran, kakak dari kawan ini kemudian mengambil batu yang disimpan ibunya untuk memeriksa jenisnya.

Ternyata banyak dari batu-batu yang terkumpul dari hasil bertukar dengan beras puluhan tahun silam memiliki harga fantastis. Salah satunya jenis Giok Aceh atau Bacan dan Kalimaya yang cukup langka.

Beberapa batu tersebut bahkan diminati dan sudah ditawar puluhan juta oleh kolektor. Dan jika dijual, maka hasilnya dapat membeli ratusan bahkan ribuan kali beras dari yang diberikan.

Dari kisah itu dapat dimaknai, perbuatan baik yang tak berharap balas, bahkan tak pernah berpikir akan dibalas, dicatat oleh Sang Pencipta. Upha kebaikan, dengan kebesaran-Nya, sesuatu yang saat itu terlihat tak berharga, pada suatu waktu akan ada nilainya.

terima kasih telah menbaca cerita tadi. Mohon maaf, penulis bukan seseorang yang pandai dalam membut cerita inspiratif dan menjelaskan maknanya. Namun besar harapan, dengan membaca ini muncul keinginan kuat kita untuk mebolong sesama, tak perduli apa suku, agam da rasnya.

Silahkan menyalin cerita ini dan memuatnya baik di blog atau tempat lain, namun dengan kerendahan hati, besat harapan agar sumber ditulis. http://roni-sahala.blogspot.com

Popular posts from this blog

Film "Before the Flood" Segera Tayang

Orangutan Jadi Budak Seks untuk Manusia

Cerita yang Hilang di Bawah Hamparan Kebun Sawit