​Perjanjian Paris Harus Berdampak pada Penghentian Deforestasi

Indonesia sedang meratifikasi Perjanjian Paris yang disepakati di Konferensi Perubahan Iklim Ke-21, menjadi Undang-undang (UU). Salah satu komitmen yang diharapkan adalah penghentian penghilangan hutan (deforestasi) dari praktek perijinan industri ekstraktif.

4 November 2016 telah dimulai pemberlakuan Perjanjian Paris dan 74 dari 197 negara peserta sudah meratifikasi. Adapun perjanjian itu tentang komitmen menjaga ambang batas suhu bumi di bawah 2 derajat celcius dengan menekan emisi gas karbon.

Presiden Joko Widodo pada ajang itu menyampaikan memasang target mengurangi sampai 29 persen emisi gas karbon atau gas rumah kaca (GRK) secara mandiri di 2030. Kemudian mengurangi sampai 41 persen GRK dengan bantuan asing.

Menyikapi ini, Wahana Lingkungan Hidup​ (Walhi) Kalimantan Tengah meminta pemerintah untuk lebih fokus pada menahan dan menghentikan deforestasi khususnya di Kalteng. Hal ini merujuk pada sejumlah hasil penelitian yang menunjukan bahwa 20 persen emisi global disumbang dari sektor ini.

“Indonesia harus menunjukan komitmen untuk menurunkan emisi yang lebih kuat dari deforestasi, dimana indonesia merupakan salah satu penyumbang emisi dari sektor ini,” kata Direktur Walhi Kalteng, Arie Rompas, Minggu (9/10/2016).

Laju deforestasi di Indonesia mencapai 610.375,92 hektare per tahun dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia. Untuk Kalteng dengan luasan hutan mencapai 10 juta hektare, laju kerusakannya 2,2 persen pertahun disumbang sektor perkebunan, pertambangan, hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH).

“Kalteng adalah wilayah paling tinggi deforestasinya akibat aktivitas pemberian ijin untuk sawit, tambang, HPH dan HTI. Artinya untuk mencapai itu (target penurunan emisi gas karbon) pemerintah harus segera menghentikan pemberian ijin baru,” tegas Ari Rompas.

Dalam kunjungannya selama 2 hari di Kalimantan Tengah, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar menyampaikan, amanat presiden soal ratifikasi​ sudah disampaikan ke DPR-RI. Tinggal menunggu rancangan UU mengenai Ratifikasi Perjanjian Paris Tentang Perubahan Iklim.

“Udah, udah (disampaikan). Amanat presiden atau istilahnya surat presiden kepada pimpinan DPR-RI untuk melakukan, untuk menyampaikan Undang-undang mengenai ratifikasi perjanjian paris,” kata Siti Nurbaya Bakar di Istana Isen Mulang Palangka Raya.

Perdangan Karbon Harus Bermanfaat Bagi Masyarakat

Merujuk pada program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau REDD+, ​Koordinator GAAs, Aryo Nugroho Waluyo​, ​berharap ratifikasi ini memberi manfaat bagi masyarakat. Dia meminta ​RUU nanti tidak berakibat buruk kepada masyarakat.

Kata Aryo, akibat dari REDD+ beberapa tahun silam​, sejumlah masyarakat khususnya di Kalteng harus keluar dari lingkungan hutan. Sementara disisi lain, sudah menjadi budaya banyak suku terutama Dayak yang memiliki kedekatan dengan hutan.

“Dampak bagi masyarakat ya hilangnya akses kepada hutan karena logika yang dibangun adalah konservasi. Padahal persoalan pokok itu konversi hutan untuk industri ekstraktif. Kalau ingin hutan di Kalteng ini seperti fungsinya, maka harus ada evaluasi ijin dan cabut itu konsesi perusahaan dan reforestasi (jadikan hutan),” tutur dia.

Menurut Aryo, ratifikasi UU itu akan bermanfaat jika mengakomodir masyarakat dan menyasar penghentian penerbitan ijin konversi serta penertiban ijin. Jangan kemudian masyarakat dilarang mengakses hutan sementara konsesi terus dikeluarkan.

Sumber: borneonews.co.id

Popular posts from this blog

Film "Before the Flood" Segera Tayang

Orangutan Jadi Budak Seks untuk Manusia

Cerita yang Hilang di Bawah Hamparan Kebun Sawit