Cerita yang Hilang di Bawah Hamparan Kebun Sawit

Puluhan tahun ia merasakan hidup bahagia, dengan ditopang kepemilikan ladang dan kebun, serta alam di sekitarnya. Tapi, itu cerita berlaku hanya sampai satu dekade lalu, saat perusahaan besar swasta (PBS) belum masuk ke wilayah mereka.

Warga Desa Sei Pinang di Gerbang PT Susantri Permai.
ronisahala.com - Helson, usianya sudah 50 tahun. Pria ini bersama keluarganya sudah hidup turun-temurun di Desa Sungai Pinang, Kecamatan Mandau Telawang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Puluhan tahun ia merasakan hidup bahagia, dengan ditopang kepemilikan ladang dan kebun, serta alam di sekitarnya. Berpuluh tahun, hutan yang diwariskan khusus bagi mereka dan masyarakat sekitar selalu terjaga.

Tapi, itu cerita berlaku hanya sampai satu dekade lalu, saat perusahaan besar swasta (PBS) belum masuk ke wilayah mereka.

Sejak kehadiran tiga PBS perkebunan kelapa sawit, yaitu PT Susantri Permai, PT Dwi Warna Karya dan PT Kapuas Maju Jaya, Helson dan warga Desa Sungai Pinang merasakan lingkungan di sekitarnya berubah 180 derajat.

Helson mengungkapkan cerita itu tepat di pintu masuk areal perkebunan PT Susantri Permai, pekan lalu. Ia lalu melanjutkan kisahnya.

Dulu, katanya, warga Desa Sungai Pinang, sering masuk hutan untuk berburu. Berlari-lari tanpa alas kaki, di antara pohon-pohon berusia ratusan tahun.

Indah kedengarannya. Begitulah Helson terus menuturkan. "Kalau anak, sanak keluarga sakit, mereka terbiasa mencari tumbuhan obat di sana. Warga sudah hidup saling melengkapi dengan hutan yang ada," jelasnya.

Namun, tutur Helson lagi dengan wajah yang mulai tidak cerah, masuknya Grup Asian Indo Holding, milik investor Malaysia pada 2008, yang kemudian diakuisisi, Genting Plantation Group dengan tiga anak perusahaannya tersebut, mengubah segalanya. "Hutan berganti sawit," cetusnya.

Helson menjelaskan, lahan yang dikuasai tiga peruSahaan tersebut seluas 50 ribu hektare lebih. Lahan itu berada di atas ladang, kebun, dan hutan masyarakat.

“Kami punya ladang, kebun karet, kebun durian, juga belukar tua. Senua diambil, " keluh dia.


Penolakan warga.

Ia pun mengaku sebenarnya sudah melakukan upaya penolakan bersama warga lainnya. Namun, perjuangannya tak membuahkan hasil. Helson menyebut negara tidak berpihak untuk membela hak-hak mereka.

Cornelis S Saha, warga Desa Sungai Pinang lainnya, menyebutkan total luasan lahan warga yang diambil PT Susantri Permai mencapai 2.868,7 hektare. Mereka kini sedang memperjuangkan ganti rugi lahan itu dengan nilai Rp25 miliar lebih.

Cornelis menuturkan, setelah bertahun-tahun berjuang, pada 2015 ada sedikit titik terang. Pimpinan perusahaan bernama Salim, bersedia ditemui dan membicarakan soal ganti rugi yang didahului dengan proses verifikasi lapangan.

"Hasil verifikasi dengan bukti SPT, tanah itu benar milik warga yang diwakilkan 51 orang. Kalau menggunakan standar untuk Desa Masawa, maka nilai yang harus dibayar perusahaan sekitar Rp25 miliar lebih," cetus Cornelis.

Namun, sampai saat ini, kewajiban itu belum juga dilaksanakan perusahaan. Sementara masyarakat yang telah dirugikan hanya bisa terus menuntut, tanpa tahu kapan hak mereka diberikan.

Izin Sudah Dicabut, Tetap Beroperasi.

PT Susantri Permai, PT Dwi Warna Karya, dan PT Kapuas Majujaya, memang perusahaan yang bermasalah. Uniknya, sampai hari ini, tiga perusahaan. itu masih terus beroperasi.

Pada 2009, ketiga perusahaan di bawah kendali Genting Plantation Group itu menjadi obyek penyelidikan . Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kapuas, Kalimantan Tengah.

Truk bermuatan tandan buah sawit melaju dari arah perkebunan PT Susantri Permai

Pansus dibentuk setelah terdapat fakta bahwa tiga perusahaan tersebut mendapat arahan lokasi, yang sebagian besar berada dalam kawasan hutan produksi (HP).

Di Lapangan didapati, letak perkebunan berada di bagian hulu dari Sungai Kapuas. Karena itulah kemudian, aktivitas pembukaan lahan menjadi penyebab anak-anak sungai tertutup.

Masyarakat yang biasa memenuhi kebutuhan lauknya dari sejumlah anak sungai itu pun kena getahnya. Ikan air tawar alami jadi sulit diperoleh.

Pansus DPRD Kapuas saat itu juga menemukan bukti penguburan kayu-kayu hasil perambahan hutan oleh perusahaan.

Selain itu, diperoleh fakta PT Susantri Permai menguasai lahan seluas 5 ribu hektare dari 15 ribu yang dikuasainya, berada di areal HP. Sesuai peraturan, itu tidak boleh ditebang tanpa izin dari Menteri Kehutanan.

Selain itu perizinan tiga PBS kelapa sawit itu diterbitkan atas dasar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalteng. Saat itu, belum diakui keabsahannya oleh pemerintah pusat.

Perusahaan-perusahaan itu juga dinilai tidak menaati ketentuan atau prosedur perizinan.

Pada 2010, saat Kabupaten Kapuas dipimpin oleh Muhammad Mawardi, izin sebanyak 12 perusahaan, termasuk ketiga perusahaan itu dicabut. Namun belum ditemukan pula jawaban, kenapa ketiganya masih beroperasi?


Ketegasan Pemerintah.

Bukan hanya tiga perusahaan itu yang masuk dalam kategori nakal. Tapi, berdasarkan data pemerintah pusat, ada 120 perusahaan serupa di Kalteng, yang dituding berkontribusi terhadap terjadinya degradasi lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar.

Perusahaan-perusahaan nakal itu, diketahui banyak yang tak memiliki perizinan hak guna usaha (HGU). izin pelepasan kawasan hutan (IPKH), dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Parahnya, mereka juga tak menjalankan mandat regulasi yang mewajibkan penyediaan kebun plasma seluas 20% dari total HGU untuk masyarakat sekitar. Lalu, mereka bermasalah dalam pajak.

Hasil penelusuran, grup BEST --PT Surya Mas Cipta Pers kasa, PT Berkah Alam Fajar Mas, PT Karya Luhur Sejati, dan PT Bahaur Era Sawit Tama -- di Pulang Pisau, tak memegang izin.

Padahal, mereka berinvestasi sejak 2006 dengan luas total areal perkebunan mencapai 80 ribu hektare dan sudah memiliki pabrik dan membangun pelabuhan.

Banyaknya perusahaan bermasalah berpengaruh pada tingginya angka konflik. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, dari 2005 sampai 2015, terjadi sedikitnya 263 konflik akibat kehadiran perusahaan bera masalah itu.

Angka paling tinggi disumbang oleh Kabupaten Kotawaringin Timur dengan 96 konflik (36%), disusul Kabupaten Kapuas sebanyak 38 konflik (14%). Konflik ini utamanya dipicu persoalan lahan.

Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran, pun berang mengetahui fakta banyak perusahaan perkebunan bermasalah itu. Ia berencana akan mengambil langkah tegas.

Kata dia, sebelum 2018, perusahaan-perusahaan itu harus sudah memenuhi kewajiban-kewajibannya. Jika tidak, dia memastikan akan mencabut izin dan melakukan penutupan paksa.

Kewajiban yang dimaksud Gubernur adalah, penuntasan masalah perizinan, melaksanakan regulasi pemerintah soal kewajiban plasma sebesar 20% dari lahan hak guna usaha (HGU), serta membayar segala kewajiban perusahaan kepada negara dan masyarakat.

Sugianto Sabran mengaku masih menahan diri untuk tidak menindak perusahaan nakal itu. Ini untuk menghindari pengaruh negatif terhadap perekonomian Kalteng. Namun, dia memastikan, negara tetap berada di atas pengusaha-pengusaha itu.

"Oke mereka salah, tapi kita tetap harus mencari terobosan-terobosan. Kita tidak ingin pembangunan stagnan. Kita tidak ingin perekonomian terganggu, tapi proses (hukum) tetap harus jalan. Intinya, bagaimana masyarakat Kalteng tetap mendapat hak-nya," kata Sugianto.

Langkah Sugianto mendapat dukungan dari Komisi IV DPR yang sempat berkunjung ke Kalteng. Mereka berencana akan membuat rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah.

Daniel Johan, anggota Komisi IV DPR, menyatakan, rekomendasi itu meliputi langkah untuk mempermudah proses perizinan bagi perusahaan yang sudah terlanjur beroperasi. Rencana rekomendasi lainnya, adalah soal payung hukum yang mungkin diperlukan sebagai dasar tindakan tegas terhadap perusahaan yang membangkang.

"Kepada perusahaan yang memang tidak bisa bekerja sama, kita akan minta pemerintah daerah untuk mengambil langkah tegas," ungkap Daniel.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun memberikan dukungan serupa. Direktur jenderal Penegakan Hukum (Dirjen Gakum) KLHK, Rasio Ridho Sani, mengungkapkan itu.

"Kami akan mengambil tindakan hukum sesuai undang-undang," kata Ridho, usai melaksanakan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah perusahaan perkebunan di Kalteng bersama Gubernur Sugianto.

Kata dia, KLHK akan mendalami data dan bukti-bukti yang dibutuhkan. Ridho menyimpulkan sementara terjadi pelanggaran hukum baik pidana dan perdata dalam operasional perusahaan sawitsawit nakal itu.


Dukungan LSM 

Desakan terhadap pemerintah untuk menindak tegas perusahaan nakal juga dilontarkan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Direktur Save Our Borneo (SOB), Nordin Abah, mengatakan, pemerintah tidak perlu memberi waktu bagi perusahaan itu untuk mengurus perizinan.

"Mereka ini maling, jangan kasih waktu lagi untuk berlari. Nanti tak terkejar. Segera lakukan penegakan hukum. Bawa ke pengadilan," ujar Nordin, saat ditemui di Sekretariat SOB, Palangka Raya, awal pekan ini.

Dengan begitu, menurut dia, penindakan dilakukan berdasarkan putusan pengadilan. "Kalau dalam putusan hakim (menyatakan) sita, maka sita. Kalau hakim memutuskan mereka harus mengurus izin, maka laksanakan,” tandas Nordin.

[Roni Sahala]

* Artikel ini telah terbit di BN Minggu terbitan 6 November 2016, pada halaman 6-7.

Popular posts from this blog

Film "Before the Flood" Segera Tayang

Orangutan Jadi Budak Seks untuk Manusia