Wisata Sejarah di Keraton Surakarta

Angin dengan lembut menggoyang dedaunan saat bus kami melaju ke arah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Disinilah cikal bakal kota yang kini dikenal dengan Kota Solo.


Komplek keraton ini, mayoritas di cat putih untuk dinding beton. Sementara daun-daun pintu dan tiang-tiang penyangga teras berbahan besi, hasil karya pandai besi ratusan tahun lalu, di cat berwarna biru langit.

Udara di kota dengan luas 44 kilometer persegi dan dihuni sekitar 650.000 lebih jiwa ini cukup sejuk. Padahal matahari sedang berada tepat di atas kepala. Hal itu mungkin karena hijaunya Kota Solo. Ditambah lagi, suhu rata-rata di kota ini berkisar 22 derajat celcius untuk terendah dan sekitar 34 derajat celcius tertinggi.

Guide dari Komunitas Laku Lampah Solo, Fendy Fawzy Alfiansyah, menceritakan awal mulanya Keraton Surakarta berdiri. “Dulunya disini dimiliki tiga orang dari satu perguruan yaitu Kyai Gede Sala, Kyai Carang dan Nyai Sumedang,” kata dia memulai ceritanya kepada rombongan Solo Media Famtrip.

Lanjut Fendy, dulu Kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua akibat politik adu domba VOC (​​Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Kesepakatan pembangan kerajaan itu tertuang dalam perjanjian Giyanti. Dimana didalamnya, Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi di Surakarta dan Yogyakarta.

Singkat cerita Pakubuwana III kemudian memilih wilayah di tepian sungai yang dikuasai Kyai Gede Sala, sebagai lokasi mendirikan Kasunanan Surakarta. Secara resmi keraton mulai didiami pada 17 Febrari 1745 atau 14 Sura 1670 merujuk penanggalan Jawa.

Fendy kemudian membawa ke ke Kori Wijil, atau pintu masuk utara Keraton Kasunanan Surakarta. Darisinilah pengunjung atau wisatawan boleh memasuki areal keraton dengan terlebih dahulu membayar Rp10.000 per orang.

Didalam, kami disambut Abdi Dalem bernama Sawiyono. Dia sudah mengabdi sebagai abdi dalem sejak 1987. Dialah yang kemudian membawa kami dan menceritakan seluk beluk keratonan di dalam keraton.

"Seluruh pasir yang ada dalam Kesunanan ini berasal dari Pantai Selatan dicampur Gunung Merapi. Sehingga jika hujan tidak becek dan baik untuk terapi kesehatan, karena dipercaya bisa menghilangkan asam urat dan reumatik," tutur Sawiyono.

Sambil berjalan, Sawiyono kemudian menunjukan sebuah menara setinggi sekitar 25 meter di dalam areal keraton. Menara itu disebut Panggung Sanggabuwana. Bangunan yang tidak menggunakan tulang baja itu kata Sawiyono, merupakan menara pantau untuk melihat pergerakan VOC pada era kolonial dulu. Biasanya kata dia, Pakubuawa naik ke atas seorang diri. Alasannya untuk melakukan ritual dengan Nyai Roro Kidu.

Suwiyono kemudian menunjukan bagunan tak berdinding lainnya yakni sebuah aula dengan patung-patung bernuansa eropa klasik dan guci-guci antik di setiap sudutnya. Pada masa kesultanan Pakubuwana X, keraton ini sering dikunjungi tamu-tamu dari luar negeri.

Aula yang megah itu biasanya sering digunakan untuk jamuan besar keraton dan juga untuk pesta pernikahan putra putri keraton. Hanya tamu sunan saja yang boleh naik,” kata Sawiyono di bawah 77 Pohon Sawo Kecik yang ditanam pada awal berdirinya kasunanan surakarta.

Di dalam areal keraton, robongan Solo Media Famtrip berkesempatan bertemu dengan Pelaksana Tugas Pakubuwana XIII, KGPH Peuger. Pakubuwana sendiri ialah sebutan untuk raja atau sultan, dimana di Surakarta disebut Sunan.

Pria dengan rambut panjang yang sudah memutih dan menjabat sebagai kepala perpustakaan itu dengan ramah menyapa pengunjung. Dia juga tak ketinggalan memberi nasehat kepada pengunjung untuk menjaga budaya di daerah masing-masing.

Popular posts from this blog

Film "Before the Flood" Segera Tayang

Orangutan Jadi Budak Seks untuk Manusia

Cerita yang Hilang di Bawah Hamparan Kebun Sawit