Manenung, Ritual Bertanya Kepada Leluhur Suku Dayak


Sebuah Mandau (senjata khas suku Dayak) dengan ganggang berbahan tulang hewan yang diikat dengan ayaman rotan bergerak-gerak persis seperti kompas. Hal diluar nalar ini terjadi saat seorang Basir (pendeta adat suku Dayak) sedang membacakan mantera dalam ritual manenung (bertanya tentang masa depan kepada leluhur).

Peristiwa ini terjadi di Jalan Snar Kahayan Jaya Kelurahan Panarung Kota Palangka Raya. Bermula dari niat Sajie untuk menggelar ritual adat tiwah (upacara untuk mengantarkan roh keluarga ke surga suku Dayak) bagi kedua orang tuanya yang sudah meninggal.

Namun dia tak tahu lokasi yang tepat untuk mendirikan sandung (bangunan kecil berbentuk rumah untuk menyimpan kerangka manusia) atau menggelar ritual besar dan cukup sakral dalam kepercayaan kaharingan itu.

Dia kemudian memanggil Tedjo, seorang Basir asal Desa Manen untuk melakukan adat manenung dirumahnya. Untuk melaksanakan ritual itu, keluarganya juga menyediakan daging ayam kampung, beras, telor dan sebagainya.

Basir yang datang kemudian memulai ritual dengan bahasa sangiang atau bahasa roh dalam kepercayaan kaharingan suku dayak. Dia kemudian meminta keluarga yang akan menggelar tiwah untuk memegang mandau yang bagian tengahnya telah diikat mata beliung (sejenis kampak tradisional) dengan menggunakan rotan.

Mandau itu kemudian diangkat dengan jari telunjuk dan kedua orang yang memegang dilarang untuk bergerak. Lalu tak lama, ujung mandau bergerak-gerak menunjukan arah. "Arah yang ditunjukan itu menjadi lokasi Sandung didirikan," tutur Sajie menceritakan penjelasan basir.

Manenung sendiri menurut Damang Kota Pahandut, Marcos S Tuwan, merupakan upacara bertanya masa depan atau meminta petunjuk kepada leluhur. Ritual ini sendiri hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan khusus sampai menjadi basir.

Sajie menceritakan, berdasarkan kepercayaan orang tuanya, manenung sebelum menggelar upacara tiwah dimaksudkan agar terhindar dari kesialan, malapetaka dan sakit penyakit. Karena ritual itu sangat sakral maka harus terlebih dahulu ada petunjuk dari leluhur.

Meskipun dia kini telah menganut agama kristen dan beberapa saudaranya memegang agama Islam, namun baginya menggelar ritual tiwah bukan suatu masalah. Dia merasa wajib untuk melaksanakan ritual itu untuk kedua orang tuanya karena mereka meninggal dengan memegang kepercayaan itu.

Menggelar prosesi tiwah, sebuah ritual suku Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan. Upacara ini untuk mengantarkan roh keluarga yang sudah meninggal ke Lewu Tatau atau surga.

"Ritual Tiwah merupakan prosesi untuk menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka. Ritual ini untuk menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung," kata Damang Pahandut, Marcos S Tuwan di Palangka Raya, Senin (9/1/2017).

Dari berbagai sumber, ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang menuju Lewu Tatau atau surga agar bisa tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.

Ritual ini biasanya memakan waktu dan biaya yang tak sedikit. Karena untuk meniwahkan satu orang dibutuhkan satu hewan untuk dijadikan persembahan.

Popular posts from this blog

Film "Before the Flood" Segera Tayang

Orangutan Jadi Budak Seks untuk Manusia

Cerita yang Hilang di Bawah Hamparan Kebun Sawit